Setelah Vaio, kini Sony merencanakan juga untuk menjual
divisi Sony Xperia dan divisi televisi Bravia. Vaio, Xperia dan Bravia adalah
deretan brand tangguh. Duka kepiluan terasa membayang menyaksikan kejatuhan
brand legendaris dari Jepang ini.
Sampai kapan Sony mampu bertahan, sebelum maut menjemputnya
untuk tidur dalam keabadian? Dan apa hubungan lenyapnya gairah seksualitas
dengan drama kejatuhan tragis perusahaan Sony?
Pagi ini kita akan menelisik korelasi mengejutkan antara
kejatuhan Sony dengan kehancuran libido seksualitas. Disajikan dengan nafsu
yang membara di blog kesayangan Anda ini.
Rencana Sony untuk melepas divisi smartphone Sony Xperia dan
televisi Bravia (setelah menjual Vaio beberapa bulan lalu) memang terasa amat
perih. Hanya bisnis Playstation yang mungkin menyelamatkan mereka. But how long can Sony survive?
Salah satu opsi yang amat pahit untuk Sony mungkin adalah
ini : membiarkan ikon kebanggaan Jepang ini dicaplok dan diakuisisi oleh
Samsung.
Look. Profit Samsung tahun lalu tembus Rp 250 triliun. Sony?
Rugi 25 triliun. Betapa jauhnya perbedaan kinerja ini, bagaikan langit dan
bumi.
Padahal 25 tahun lalu, petinggi Sony selalu tertawa
sarkastis dan penuh hinaan setiap mendengar kata Samsung (dulu, saat Sony masih
menjadi dewa dalam jagat elektronik dunia, dan Samsung hanyalah produsen kulkas
dengan kualitas abal-abal)
Veteran pegawai Samsung berkisah, betapa sakitnya hati
mereka dulu, karena sering di-bully dan dianggap anak kere oleh para manajer
Sony (“Disitu kadang kami merasa sedih”, demikian pegawai Samsung itu
bercerita).
Namun rasa sakit hati itu mungkin juga menjelma menjadi
dendam membara. Hampir semua pegawai Samsung selalu punya tekad untuk
menaklukkan dan menghancurkan Sony, suatu hari nanti.
Untuk mewujudkan tekad itu, CEO Samsung pada tahun 1995
merilis program perubahan besar-besaran (transfromasi masif) untuk meningkatkan
mutu dan inovasi produk Samsung.
Slogan yang mereka usung saat itu bunyinya heroik : change
everyhthing except your wife. Ubah semuanya. Ubah semua proses bisnis,
perilaku dan budaya kerja. Ubah semuanya kecuali istrimu. Demi Samsung yang
lebih hebat.
Kalau slogan kalian mungkin kebalikan dari slogan samsung
itu. Change your wife every two years.
Pada akhirnya, rasa sakit hati dan heroisme Samsung itu itu
mendapatkan validasi. Kini revenue dan profit Samsung jauh diatas Sony.
Profitnya bahkan triliunan kali lipat.
Tak terbayangkan, bahwa kini profit Samsung 250T dan Sony
justru rugi 25T; dan Samsung siap mencaplok Sony. Banyak penduduk Jepang yang
akan mrebes mili jika ikon kebanggaan mereka sampai dicaplok oleh “perusahaan
abal-abal” dari sebuah negeri yang dulu pernah mereka jajah.
Pelajaran dari kisah Sony mungkin ini : jangan pernah
bersikap arogan dan menyepelekan calon rival. Sebab arogansi hanya akan
membawamu dalam ciuman kematian. Arogansi akan pelan-pelan membuatmu
terpelanting dalam kesunyian.
Samsung mungkin sebagian besar telah sukses menggilas Sony
(yang dulu selalu menghinanya dengan ledekan penuh rasa jumawa).
Namun barangkali juga ada faktor lain yang lebih
fundamental, dan ikut membuat Sony limbung.
Faktor itu adalah fakta bahwa negeri Jepang adalah negeri
yang menua (aging nation). Studi demografis menulis, dalam 40 tahun ke depan
penduduk Jepang akan berkurang 25%. Dan kemudian 90 tahun lagi, penduduk Jepang
akan lenyap hingga 60%-nya.
Ya, bangsa Jepang pelan-pelan akan punah dalam makna yang
sebenar-benarnya.
Kenapa penduduk Jepang pelan-pelan punah? Karena 90%
perempuan muda Jepang enggan menikah dan punya anak. Ribet dan mahal. Mereka
lebih suka menjadi Jomblo Forever.
Yang lebih pahit. Penduduk Jepang yang sudah menikah juga
makin kehilangan gairah seksual dengan pasangannya. Data dari Japan Family
Planning menyebut, lebih dari 50% pasangan Jepang hanya melakukan hubungan
seksual sebulan sekali. Bahkan banyak diantaranya yang hanya tiga bulan sekali.
(disitu kadang saya merasa sedih).
Kombinasi perempuan jomblo yang enggan menikah dan punya
anak, serta pasangan yang makin tidak bergairah secara seksual, membawa akibat
fatal. Apa itu? Jumlah bayi baru yang lahir di Jepang kian merosot. Apa akibat
selanjutnya? Penduduk Jepang lebih didominasi oleh penduduk yang tua dan uzur.
An aging nation. Negeri yang Menua.
Fenomena itu lazim juga disebut sebagai “demographic
death spriral”. Negeri Jepang kian menua, dan pelan-pelan terjebak dalam
spiral kematian yang membuat mereka punah.
Apa implikasi dari “gejala negeri yang menua” ini bagi
perusahaan bisnis? Sama. Perusahaan-perusaaan Jepang juga kian menua. Dalam
arti, pegawainya akan lebih banyak didominasi orang-orang tua (berusia 50 tahun
keatas).
Bagi perusahaan seperti Sony yang bergerak di industri elektronik
dan digital, fenomena itu bisa berarti petaka. Kenapa? Sebab dalam industri
elektronika berbasis digital, dinamika kompetisi dan inovasinya bergerak dengan
kecepatan tinggi bagaikan kilat.
Sementara jika sebuah perusahaan lebih didominasi oleh
“pegawai tua yang senior”, acapkali iklim inovasi tidak bisa tumbuh dengan
subur. Pegawai-pegawai yang senior (dan sudah karatan) acapkali lebih resisten
dengan dengan perubahan. Pegawai yang senior juga sering punya ego tinggi, dan
enggan bekerjasama dengan lainnya. “Sebab hey, gue kan sudah senior dan ratusan
tahun kerja disini” ?
Negeri yang makin menua. Perusahaan dengan mayoritas pegawai
yang kian uzur. Fakta ini yang boleh jadi merupakan salah satu faktor
fundamental dibalik kejatuhan Sony.
Tragisnya : fenomena penuaan alamiah itu dipicu oleh kian
lenyapnya gairah dan libido seksual penduduk Jepang.
Tak terbayangkan, sebuah ikon legendaris Jepang yang dulu
begitu digdaya jatuh hanya karena sebuah faktor yang amat sederhana. Faktor itu
adalah : kegagalan untuk merasakan orgasme seksualitas.
Selamat bekerja teman. Don’t forget to make love with your
wife or your husband.
Source: strategimanagemen.net
0 komentar:
Posting Komentar
Jika anda suka dengan artikel ini jangan segan untuk berkomentar ya, Komentar anda sangat diperlukan untuk develop blog ini.
Kalo nggak punya URL, Google Acc, silahkan beri komentar sebagai: Anonymous. Terimakasih.